Senin, 09 Juni 2014

Tes Halaman Posting

Testing Link
"klik link-1 untuk menuju facebook", dan "klik-2 ini untuk menuju twitter

Minggu, 18 Mei 2014

Galungan dan Kuningan

Makna Galungan dan Kuningan


Menurut lontar Purana Bali Dwipa disebutkan :
"Punang aci galungan ika ngawit bu, ka, dungulan sasih kacatur tanggal 25, isaka 804, bangun indra bhuwana ikang bali rajya".

artinya :
"Perayaan hari raya suci Galungan pertama adalah pada hari Rabu Kliwon, wuku Dungulan sasih kapat tanggal 15 (purnama) tahun 804 saka, keadaan pulau Bali bagaikan lndra Loka".
Mulai tahun saka inilah hari raya Galungan terus dilaksanakan, kemudian tiba-tiba Galungan berhenti dirayakan entah dasar apa pertimbangannya, itu terjadi pada tahun 1103 saka saat Raja Sri Eka Jaya memegang tampuk pemerintahan sampai dengan pemerintahan Raja Sri Dhanadi tahun 1126 saka Galungan tidak dirayakan. Dan akhirnya Galungan baru dirayakan kembali pada saat Raja Sri Jaya Kasunu memerintah, merasa heran kenapa raja dan para pejabat yang memerintah sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui sebabnya beliau bersemedi dan mendapatkan pawisik dari Dewi Durgha menjelaskan pada raja, leluhumya selalu berumur pendek karena tidak merayakan Galungan, oleh karena itu Dewi Durgha meminta kembali agar Galungan dirayakan kembali sesuai dengan tradisi yang berlaku dan memasang penjor.

Rangkaian Hari Raya Galungan dan Kuningan
Persiapan perayan hari raya Galungan dimulai sejak Tumpek Wariga disebut juga Tumpek Bubuh, pada hari ini umat memohon kehadapan Sanghyang Sangkara, Dewanya tumbuh tumbuhan agar Beliau menganugrahkan supaya hasil pertanian meningkat. Setelah itu wrespati Sungsang adalah hari Sugihan Jawa merupakan pensucian bhuwana agung dilaksanakan dengan menghaturkan pesucian mererebu di Merajan, pekarangan, rumah serta menyucikan alat-alat untuk hari raya Galungan. Besoknya Sukra Kliwon Sungsang disebut hari Sugihan Bali, pada hari ini kita melaksanakan penyucian bhuwana alit, mengheningkan pikiran agar hening, heneng dan metirta gocara. Selanjutnya Redite Paing Dungulan disebut penyekeban.
Pada hari ini adalah hari turunnya Sang Kala Tiga Wisesa, maka pada hari ini para wiku dan widnyana meningkatkan pengendalian diri (anyekung adnyana). Besoknya Soma Pon Dungulan disebut penyajaan pada hari ini tetap menguji keteguhan sebagai bukti kesungguhan melakukan peningkatan kesucian diri seperti yoga semadi. Selanjutnya Anggara Wage Dungulan disebut penampahan melakukan bhuta yadnya ring catur pate atau lebuh di halaman rumah, agar tidak diganggu Sang Kala Tiga Wisesa. Besoknya Buda Kliwon Dungulan disebut Hari Raya Galungan umat Hindu melakukan pemujaan kepada Tuhan dengan segala manifestasi-Nya. Wrespati Umanis Dungulan disebut Manis Galungan, umat saling kunjung-mengunjungi dan maaf-memaafkan. Selanjutnya Saniscara Pon Dungulan disebut pemaridan guru pada hari ini umat melaksanakan tirta gocara, Redite Wage Kuningan disebut ulihan kembalinya Dewa dan Pitara kekahyangan.
Selanjutnya Soma Kliwon Kuningan disebut Pemacekan Agung Dewa beserta pengiringnya kembali dan sampai ketempat masing-masing. Sukra Wage Kuningan disebut Penampahan Kuningan adalah persiapan untuk menyambut hari Raya Kuningan. Besoknya Saniscara Kliwon Kuningan hari Raya Kuningan, pada hari ini umat Hindu memuja Tuhan dengan segala manifestasinya. Upacara menghaturkan saji hendaknya.dilaksanakan jangan sampai lewat tengah hari, mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata diceritakan kembali ke swarga. Kemudian yang paling akhir dari rangkaian hari raya Galungan yaitu Buda Kliwon Pahang disebut pegat uwakan akhir dari pada melakukan peberatan Galungan sebagai pewarah Dewi Durga kepada Sri Jaya Kasunu ditandai dengan mencabut penjor kemudian dibakar, abunya dimasukkan kedalam bungkak gading ditanam di pekarangan.

Makna Hari Raya Galungan dan Kuningan
Dharma dan Adharma Pada hari raya suci Galungan dan Kuningan umat Hindu secara ritual dan spiritual melaksanakannya dengan suasana hati yang damai. Pada hakekatnya hari raya suci Galungan dan Kuningan yang telah mengumandang di masyarakat adalah kemenangan dharma melawan adharma. Artinya dalam konteks tersebut kita hendaknya mampu instrospeksi diri siapa sesungguhnya jati diri kita, manusia yang dikatakan dewa ya, manusa ya, bhuta ya itu akan selalu ada dalam dirinya. Bagaimana cara menemukan hakikat dirinya yang sejati?, "matutur ikang atma ri jatinya" (Sanghyang Atma sadar akan jati dirinya).
Hal ini hendaknya melalui proses pendakian spiritual menuju kesadaran yang sejati, seperti halnya hari Raya Galungan dan Kuningan dari hari pra hari H, hari H dan pasca hari H manusia bertahan dan tetap teguh dengan kesucian hati digoda oleh Sang Kala Tiga Wisesa, musuh dalam dirinya, di dalam upaya menegakkan dharma di dalam dirinya maupun di luar dirinya. Sifat-sifat adharma (bhuta) di dalam dirinya dan di luar dirinya disomya agar menjadi dharma (Dewa), sehingga dunia ini menjadi seimbang (jagadhita). Dharma dan adharma, itu dua kenyataan yang berbeda (rwa bhineda) yang selalu ada didunia, tapi hendaknyalah itu diseimbangkan sehingga evolusi didunia bisa berjalan.
Kemenangan dharma atas adharma yang telah dirayakan setiap Galungan dan Kuningan hendaknyalah diserap dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dharma tidaklah hanya diwacanakan tapi dilaksanakan, dalam kitab Sarasamuccaya (Sloka 43) disebutkan keutamaan dharma bagi orang yang melaksanakannya yaitu :
"Kuneng sang hyang dharma, mahas midering sahana, ndatan umaku sira, tan hanenakunira, tan sapa juga si lawanikang naha-nahan, tatan pahi lawan anak ning stri lanji, ikang tankinawruhan bapanya, rupaning tan hana umaku yanak, tan hana inakunya bapa, ri wetnyan durlaba ikang wenang mulahakena dharma kalinganika".

Artinya:
Adapun dharma itu, menyelusup dan mengelilingi seluruh yang ada, tidak ada yang mengakui, pun tidak ada yang diakuinya, serta tidak ada yang menegur atau terikat dengan sesuatu apapun, tidak ada bedanya dengan anak seorang perempuan tuna susila, yang tidak dikenal siapa bapaknya, rupa-rupanya tidak ada yang mengakui anak akan dia, pun tidak ada yang diakui bapa olehnya, perumpamaan ini diambil sebab sesungguhnya sangat sukar untuk dapat mengetahui dan melaksanakan dharma itu.
Di samping itu pula dharma sangatlah utama dan rahasia, hendaknyalah ia dicari dengan ketulusan hati secara terus-menerus. Sarasamuccaya (sloka 564) menyebutkan :
"Lawan ta waneh, atyanta ring gahana keta sanghyang dharma ngaranira, paramasuksma, tan pahi lawan tapakning iwak ring wwai, ndan pinet juga sire de sang pandita, kelan upasama pagwan kotsahan".
Artinya:
Lagi pula terlampau amat mulia dharma itu, amat rahasia pula, tidak bedanya dengan jejak ikan didalam air, namun dituntut juga oleh sang pandita dengan ketenangan, kesabaran, keteguhan hati terus diusahakan.
Demikianlah keutamaan dharma hendaknyalah diketahui, dipahami kemudian dilaksanakan sehingga menemukan siapa sesungguhnya jati diri kita.

Macam - Macam Galungan
A. Galungan
Di dalam lontar Sundarigama menyebutkan pada Buda Kliwon wuku Dungulan disebut hari raya Galungan.
B. Galungan Nadi
Apabila Galungan jatuh pada bulan Purnama disebut Galungan Nadi, umat Hindu melaksanakan tingkatan upacara yang lebih utama. Berdasarkan Lontar Purana Bali Dwipa bahwa Galungan jatuh pada sasih kapat (kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 saka Bali bagaikan lndra Loka ini menandakan betapa meriahnya dan sucinya hari raya itu.
C. Galungan Naramangsa.
Dalam Lontar Sanghyang Aji Swamandala mengenai Galungan Naramangsa disebutkan apabila Galungan jatuh pada Tilem Kapitu dan sasih Kasanga rah 9, tengek 9, tidak dibenarkan merayakan hari raya Galungan dan menghaturkan sesajen berisi tumpeng seyogyanya umat mengadakan caru berisi nasi cacahan dicampur ubi keladi, bila melanggar akan diserbu oleh Balagadabah.



Kamis, 03 Januari 2013


Gedung Kesenian Gde Manik dalam Kondisi Memprihatinkan

            Singaraja merupakan sebuah kota di bagian Utara pulau Bali yang telah melahirkan sederet nama seniman berpemikiran moderen. Gusti Panji Tisna (angkatan pujangga baru), Putu Santi (Lekra), Gde Darna (LKN), Putu Wijaya, Putu Oka (Lekra), Putu Satria dan sederet nama lain merupakan putra-putra Singaraja yang ambil bagian dalam dunia seni baik itu sastra, musik, maupun seni pertunjukan. Pulau Bali sendiri memang identik dengan dunia seni maupun budayanya. Di bidang pendidikan, pembangunan kota Singaraja kini sudah hampir menyamai kota Denpasar yang merupakan Pusat dari Provinsi Bali. Apalagi semenjak diresmikannya Singaraja sebagai kota Pendidikan dan Pengetahuan. Namun perkembangan di bidang seni budaya nampaknya tidak sejalan dengan bidang Pendidikan. Sampai saat ini pembangunan di bidang seni dan budaya nampaknya belum dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat Bali. Pembangunan di Bali Utara kondisinya relatif tertinggal dibandingkan dengan Bali Selatan. Hal itu dapat dilihat dari kurangnya bangunan sebagai sarana dan prasarana pengembangan seni budaya, kalaupun ada kondisinya pasti sudah memprihatinkan.
            Ketika melewati suatu jalan di Kota Singaraja yaitu Jalan Udayana akan ada pemandangan yang sangat mengganggu penglihatan dan juga perasaan. Di jalan yang tidak jauh dari kampus Universitas Pendidikan Ganesha tersebut terdapat sebuah bangunan tua dengan ornament Bali yang apabila diperhatikan akan terlihat sangat kontras dengan pemandangan di sekitarnya. Di depan bangunan tersebut terpampang nama “Gedung Kesenian Gde Manik” yang menandakan bahwa itulah nama gedung tersebut. Nama Gde Manik diambil dari seorang guru gamelan yang merupakan anggota Partai Nasional Indonesia. Sepintas Gedung yang didirikan sekitar tahun 60an itu terlihat megah apalagi jika dilihat malam hari saat gedung tersebut digunakan sebagai tempat suatu pementasan. Namun apabila dilihat dengan seksama maka akan tampak bangunan yang terlihat tidak kokoh dengan atap seng yang telah berwarna coklat kemerahan karena karatan, coretan-coretan cat semprot di dinding, dan sampah yang menggunung. Ironis memang mengingat Gedung Kesenian Gde Manik (GK) merupakan pusat kegiatan seni di Singaraja. Melihat kondisinya yang tidak terawat ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah seni budaya di bagian Utara pulau Bali ini kurang mendapat sorotan Pemerintah Daerah maupun masyarakat sekitar? Menurut penuturan seorang Kepala bidang Permuseuman Sejarah Purbakala Dinas Kebudayaan, Ibu Agung Maheri, pada tahun 2012 sudah diajukan proposal mengenai pemugaran Gedung Kesenian Gde Manik dan Gedung Sasana Budaya kepada Bupati. Namun sampai saat ini proses tersebut masih dalam tahap perencanaan. Kegiatan yang diserahkan kepada Kepala Dinas oleh Buapati tersebut rencananya akan menurunkan dana sebesar Rp 8 Miliar. Dengan pemberian Rp. 5 Miliar untuk pemugaran Gedung Kesenian dan Rp. 3 Miliar untuk Sasana Budaya.  Sejak berdirinya gedung Kesenian belum pernah dilakukan pemugaran secara menyeluruh, namun untuk perbaikan-perbaikan kecil sudah sering dilakukan seperti perbaikan toilet dan tempat parkir.

Rabu, 02 Januari 2013


Ogoh-Ogoh VS Bhuta Kala

Bali sebagai lumbung budaya nampaknya tak pernah habis menunjukkan eksotikanya dikancah pariwisata. Tak hanya gamelan dan tariannya yang mendunia, tapi hal yang berbau upacara keagamaan umat Hindu pun tak luput dari sorotan. Nyepi misalnya. Nyepi adalah hari besar umat Hindu yang juga dinyatakan sebagai libur nasional. Perayaan Nyepi, khususnya di Bali selalu berlangsung dengan meriah sehingga wisatawan berbondong-bondong datang ke Bali hanya untuk menyaksikan secara langsung perayaan hari besar agama Hindu tersebut.
Salah satu yang menjadi idola saat perayaan Nyepi adalah kehadiran ogoh-ogoh. Patung besar berparaskan raksasa ini nyatanya dapat membuat orang yang melihatnya terkagum-kagum. Unsur magis yang dipadukan dengan unsur seni menjadikan wujud ogoh-ogoh ini kian memiliki taksu (jiwa). Seperti penuturan salah satu kelian adat di Desa Tulikup, Gianyar, I Gusti Ngurah Suta (46), mengatakan bahwa ogoh-ogoh tidaklah dibuat untuk hiburan semata, tetapi masih ada kaitannya dengan perayaan Nyepi.
Sehari sebelum Nyepi disebut dengan Ngembak Geni yang pada hari itu ogoh-ogoh  diarak keliling desa untuk mengusir buta kala sehingga tidak akan mengganggu perayaan Nyepi keesokan harinya. “Ogoh-ogoh memang sengaja dibuat dengan paras yang menyeramkan guna membuat buta kala takut dan meninggalkan desa sehingga tidak akan mengganggu”, ujar salah seorang pemuda yang ditemui di sebuah sanggar di desa Tulikup, Gianyar.
Selain untuk melengkapi perayaan upacara agama, ogoh-ogoh  kini digalakkan pemerintah untuk menarik minat wisatawan datang ke Bali mengingat setelah peristiwa pengeboman, wisatawan enggan untuk datang ke Bali. Namun, dengan keberadaan ogoh-ogoh ini yang hanya dapat dijumpai setahun sekali dalam perayaan Nyepi dipercaya akan dapat menambah nilai budaya yang Bali miliki. “Pemuda-pemudi di Bali sejatinya akan mengambil andil yang besar dalam pelestarian budaya Bali sebagai warisan nenek moyang”, ujar salah satu tokoh budayawan di Gianyar.
Nyepi tahun ini akan jatuh di tanggal 12 Maret 2013 dan diharapkan seluruh komponen masyarakat Bali bersatu dalam keamanan perayaan Nyepi itu sendiri mengingat akan banyak sekali ogoh-ogoh yang diarak dimasing-masing wilayah/desa di hari Ngembak Geni. Selain itu, ogoh-ogoh yang diarak tak luput dari unsur seni tabuh dan tari yang kini sangat dikenal dikancah internasional. Tabuh baleganjur akan mengiringi perjalanan sang ogoh-ogoh mengelilingi desa yang disertai dengan tarian dari masyarakat/ pemuda yang menganggakat/ mengarak ogoh-ogoh tersebut. Tarian juga akan ditampilkan oleh para penabuh dengan sangat atraktif sehingga akan membuat penonton terkagum melihatnya.
 Bali yang kaya akan warisan budaya sudah sepatutnya berbangga, karena keberadaan Bali sendiri selalu dieluh-eluhkan oleh wisatawan. Oleh karena itu, tak sepantasnyalah jika ada pemuda/ masyarakat Bali merusak kebudayaan daerahnya sendiri hanya untuk kepentingan pribadi semata. Mari kita bersama-sama lestarikan budaya Bali dan hindari pengaruh budaya barat yang dapat merusak keajegan budaya bali itu sendiri.

Senin, 31 Desember 2012

Gadis Istimewa

Gadis Istimewa

            May, begitu ia dipanggil, Pemilik nama lengkap Putu Masayu Prastika Febriani ini adalah gadis istimewa, bukan saja lantaran puisinya yang luar biasa, namun juga secara akademis ia sangat cemerlang. May adalah seorang guru privat bahasa Inggris dan tutor bahasa Inggris di Education and Learning Program ( HELP ) Bali,  di sana ia mengajar siswa-siswa kurang mampu. Jiwa sosialnya ini sudah melekat pada dirinya sejak ia masih menjadi mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Pendidikan Ganesha. Gadis cerdas ini begitu murah senyum, selalu memiliki semangat dimatanya yang berbinar, dan tutur katanya sangat santun. Siapa nyana, puisi-pusinya begitu dalam menyentuh dan begitu mengharukan, mencerminkan pengalaman hidupnya yang tak biasa. May telah banyak melahirkan karya berupa puisi dan prosa. Salah satu buku kumpulan puisi dan prosa May adalah buku yang berjudul Hadiah Untuk langit. May adalah anak pertama dari Bapak Putu Mas Wiraja dan Ibu Desak Putu Astini. Gadis kelahiran 1 Februari dua puluh dua tahun silam ini gemar bersastra sejak kecil, tumbuh dengan didikan yang keras menbuatnya tumbuh menjadi gadis yang begitu tegar. Akunya hanya ada dua hal yang sangat penting dalam hidupnya yaitu ibu dan adik laki-lakinya. Ibu yang selalu menginspirasinya untuk berani melangkah maju dan adik yang selalu menguatkannya untuk tetap berdiri tegak.   Gadis mandiri ini selalu menyiasati liku hidupnya dengan menyimpannya lalu mengolahnya dan menuliskannya. Beruntunglah ia memiliki talenta luar biasa. Karyanya bisa kita nikmati, bukan saja kita harus meresponnya dengan kata-kata, namun dengan hati yang damai. Membaca puisi karya May adalah membaca kisah hidupnya. Demikianlah ia terus berkarya, bersama sahabatnya Akar Nawastu. Ia juga diundang ke event Bali Emerging Writers Festival, ajang unjuk gigi seniman muda di tingkat Internasional. Bersama Akar, mereka memukau audiens dengan karya-karyanya