Kamis, 03 Januari 2013


Gedung Kesenian Gde Manik dalam Kondisi Memprihatinkan

            Singaraja merupakan sebuah kota di bagian Utara pulau Bali yang telah melahirkan sederet nama seniman berpemikiran moderen. Gusti Panji Tisna (angkatan pujangga baru), Putu Santi (Lekra), Gde Darna (LKN), Putu Wijaya, Putu Oka (Lekra), Putu Satria dan sederet nama lain merupakan putra-putra Singaraja yang ambil bagian dalam dunia seni baik itu sastra, musik, maupun seni pertunjukan. Pulau Bali sendiri memang identik dengan dunia seni maupun budayanya. Di bidang pendidikan, pembangunan kota Singaraja kini sudah hampir menyamai kota Denpasar yang merupakan Pusat dari Provinsi Bali. Apalagi semenjak diresmikannya Singaraja sebagai kota Pendidikan dan Pengetahuan. Namun perkembangan di bidang seni budaya nampaknya tidak sejalan dengan bidang Pendidikan. Sampai saat ini pembangunan di bidang seni dan budaya nampaknya belum dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat Bali. Pembangunan di Bali Utara kondisinya relatif tertinggal dibandingkan dengan Bali Selatan. Hal itu dapat dilihat dari kurangnya bangunan sebagai sarana dan prasarana pengembangan seni budaya, kalaupun ada kondisinya pasti sudah memprihatinkan.
            Ketika melewati suatu jalan di Kota Singaraja yaitu Jalan Udayana akan ada pemandangan yang sangat mengganggu penglihatan dan juga perasaan. Di jalan yang tidak jauh dari kampus Universitas Pendidikan Ganesha tersebut terdapat sebuah bangunan tua dengan ornament Bali yang apabila diperhatikan akan terlihat sangat kontras dengan pemandangan di sekitarnya. Di depan bangunan tersebut terpampang nama “Gedung Kesenian Gde Manik” yang menandakan bahwa itulah nama gedung tersebut. Nama Gde Manik diambil dari seorang guru gamelan yang merupakan anggota Partai Nasional Indonesia. Sepintas Gedung yang didirikan sekitar tahun 60an itu terlihat megah apalagi jika dilihat malam hari saat gedung tersebut digunakan sebagai tempat suatu pementasan. Namun apabila dilihat dengan seksama maka akan tampak bangunan yang terlihat tidak kokoh dengan atap seng yang telah berwarna coklat kemerahan karena karatan, coretan-coretan cat semprot di dinding, dan sampah yang menggunung. Ironis memang mengingat Gedung Kesenian Gde Manik (GK) merupakan pusat kegiatan seni di Singaraja. Melihat kondisinya yang tidak terawat ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah seni budaya di bagian Utara pulau Bali ini kurang mendapat sorotan Pemerintah Daerah maupun masyarakat sekitar? Menurut penuturan seorang Kepala bidang Permuseuman Sejarah Purbakala Dinas Kebudayaan, Ibu Agung Maheri, pada tahun 2012 sudah diajukan proposal mengenai pemugaran Gedung Kesenian Gde Manik dan Gedung Sasana Budaya kepada Bupati. Namun sampai saat ini proses tersebut masih dalam tahap perencanaan. Kegiatan yang diserahkan kepada Kepala Dinas oleh Buapati tersebut rencananya akan menurunkan dana sebesar Rp 8 Miliar. Dengan pemberian Rp. 5 Miliar untuk pemugaran Gedung Kesenian dan Rp. 3 Miliar untuk Sasana Budaya.  Sejak berdirinya gedung Kesenian belum pernah dilakukan pemugaran secara menyeluruh, namun untuk perbaikan-perbaikan kecil sudah sering dilakukan seperti perbaikan toilet dan tempat parkir.

Rabu, 02 Januari 2013


Ogoh-Ogoh VS Bhuta Kala

Bali sebagai lumbung budaya nampaknya tak pernah habis menunjukkan eksotikanya dikancah pariwisata. Tak hanya gamelan dan tariannya yang mendunia, tapi hal yang berbau upacara keagamaan umat Hindu pun tak luput dari sorotan. Nyepi misalnya. Nyepi adalah hari besar umat Hindu yang juga dinyatakan sebagai libur nasional. Perayaan Nyepi, khususnya di Bali selalu berlangsung dengan meriah sehingga wisatawan berbondong-bondong datang ke Bali hanya untuk menyaksikan secara langsung perayaan hari besar agama Hindu tersebut.
Salah satu yang menjadi idola saat perayaan Nyepi adalah kehadiran ogoh-ogoh. Patung besar berparaskan raksasa ini nyatanya dapat membuat orang yang melihatnya terkagum-kagum. Unsur magis yang dipadukan dengan unsur seni menjadikan wujud ogoh-ogoh ini kian memiliki taksu (jiwa). Seperti penuturan salah satu kelian adat di Desa Tulikup, Gianyar, I Gusti Ngurah Suta (46), mengatakan bahwa ogoh-ogoh tidaklah dibuat untuk hiburan semata, tetapi masih ada kaitannya dengan perayaan Nyepi.
Sehari sebelum Nyepi disebut dengan Ngembak Geni yang pada hari itu ogoh-ogoh  diarak keliling desa untuk mengusir buta kala sehingga tidak akan mengganggu perayaan Nyepi keesokan harinya. “Ogoh-ogoh memang sengaja dibuat dengan paras yang menyeramkan guna membuat buta kala takut dan meninggalkan desa sehingga tidak akan mengganggu”, ujar salah seorang pemuda yang ditemui di sebuah sanggar di desa Tulikup, Gianyar.
Selain untuk melengkapi perayaan upacara agama, ogoh-ogoh  kini digalakkan pemerintah untuk menarik minat wisatawan datang ke Bali mengingat setelah peristiwa pengeboman, wisatawan enggan untuk datang ke Bali. Namun, dengan keberadaan ogoh-ogoh ini yang hanya dapat dijumpai setahun sekali dalam perayaan Nyepi dipercaya akan dapat menambah nilai budaya yang Bali miliki. “Pemuda-pemudi di Bali sejatinya akan mengambil andil yang besar dalam pelestarian budaya Bali sebagai warisan nenek moyang”, ujar salah satu tokoh budayawan di Gianyar.
Nyepi tahun ini akan jatuh di tanggal 12 Maret 2013 dan diharapkan seluruh komponen masyarakat Bali bersatu dalam keamanan perayaan Nyepi itu sendiri mengingat akan banyak sekali ogoh-ogoh yang diarak dimasing-masing wilayah/desa di hari Ngembak Geni. Selain itu, ogoh-ogoh yang diarak tak luput dari unsur seni tabuh dan tari yang kini sangat dikenal dikancah internasional. Tabuh baleganjur akan mengiringi perjalanan sang ogoh-ogoh mengelilingi desa yang disertai dengan tarian dari masyarakat/ pemuda yang menganggakat/ mengarak ogoh-ogoh tersebut. Tarian juga akan ditampilkan oleh para penabuh dengan sangat atraktif sehingga akan membuat penonton terkagum melihatnya.
 Bali yang kaya akan warisan budaya sudah sepatutnya berbangga, karena keberadaan Bali sendiri selalu dieluh-eluhkan oleh wisatawan. Oleh karena itu, tak sepantasnyalah jika ada pemuda/ masyarakat Bali merusak kebudayaan daerahnya sendiri hanya untuk kepentingan pribadi semata. Mari kita bersama-sama lestarikan budaya Bali dan hindari pengaruh budaya barat yang dapat merusak keajegan budaya bali itu sendiri.